SBKM ,Tangerang
Saat ini produksi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) terus meningkat sejalan dengan semangkin pesatnya perkembangan industri di setiap wilayah di Indonesia.Beragan jenis limbah padat dan cair yang dimaksud, salah satu diantaranya yakni limbah cair zat kimia berbahaya dari oli bekas di daur ulang untuk dijadikan residu.
Tanpa pengelolaan yang memadai, limbah zat kimia (Penyulingan oli- red) ini memiliki daya rusak lingkungan yang jauh lebih berat dibandingan dengan jenis limbah yang lain. Bahkan limbah B3 juga berpotensi mengancam kesehatan manusia.
Limbah B3 yang paling membahayakan yaitu limbah dari pabrik penyulingan oli, Limbah B3 ini memiliki sifat akumulatif dan beracun, sehingga berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.
Dalam hal ini, terkait pabrik penyulingan oli, telah mendapat sorotan tajam dari pemerhati lingkungan, Syamsul Bahri. Menurutnya, ketentuan izin pengelolaan limbah B3 pada pasal 59 ayat (4), pasal 95 ayat (1) dan pasal 102 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH).
“Pada Pasal 59 menerangkan bahwa pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri/Gubernur/ Bupati atau Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dan Pasal 95 menerangkan bahwa dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kepolisian dan Kejaksaan dibawah kordinasi Menteri, ” ulasnya kepada awak media, senin ( 15/7/24).
Sambungnya, bahwa ada di pasal 102 yang tertuang yakni setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000.00 (tiga milyar rupiah).
“Setiap usaha yang terkait dengan limbah B3 diwajibkan untuk mendapatkan izin Pelindungan Pengelolaan LIngkungan Hidup (PPLH) terlebih dahulu. Karena pengelolaan limbah B3 beresiko tinggi bagi kehidupan manusia. Penerapan instrumen perizinan, mulai dari penyimpanan, pengumpulan serta pengangkutannya, ” urai Syamsul.
Untuk itu, pihak Polda, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten diminta untuk menghentikan kegiatan operasional sebuah pabrik penyulingan oli bekas di olah untuk dijadikan Bio Solar yang berada di Desa Munjul, Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang- Banten.
Perusahaan tersebut diduga melakukan kegiatan yang berdampak buruk pada masyarakat karena saat produksi asap hitam mengepul tinggi sebagai landasan pencemaran lingkungan. Pabrik tersebut melakukan pengangkutan, pemindahan, penampungan, produksi dan pendisribusian limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
Kegiatan ini dilakukan tanpa SOP yang benar, sehingga berdampak terhadap lingkungan, kesegaran udara yang berubah menjadi polusi kotor dan pada masyarakat sekitar. Dan beberapa Desa, baik yang bermukim di sepanjang jalan sangat terganggu dengan adanya kegiatan penyulingan oli dan pengangkutan limbah B3 tersebut.
Aroma bau yang sangat menyengat dan bisa mengancam kesehatan manusia. Pihak perusahaan diduga telah melakukan kejahatan lingkungan yang sangat serius. Untuk itu pihak DLH, baik Provinsi maupun Kabupaten, begitu juga dengan pihak Kepolisian harus sidak langsung ke pabrik penyulingan oli.
Diduga pabrik tersebut telah melanggar Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 98 ayat (1), Pasal 102, dan Pasal 109 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang serta Pasal 100 ayat 1 UU nomor 20 Tahun 2016 tentang Merk dan UU nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian.
Sampai rillise berita ini naik, aktifitas pabrik itu masih terus ada kegiatan. Efek dari itu semua bisa berakibat fatal bagi warga disekitar pabrik dan tentunya bagi orang- orang yang terlibat langsung di pabrik tersebut.
( Red )