PAPUA|Rumah Sagu di Kampung Keakwa yang dikelola oleh Yayasan Somatua ,milik YPMAK (Yayasan Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro) ini mendapatkan dana hibah dari PT Freeport Indonesia. Dana tersebut kemudian diserahkan kepada Yayasan Somatua sebagai pengelola Rumah Sagu. Maksud dari didirikanya Rumah Sagu ini tentunya untuk memberikan kemudahan produksi sagu rakyat di keakwa, yang diharapkan menjadi salah satu penopang ekonomi mikro bagi masyarakat sekitar.
Dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan dana Yayasan Somatua untuk perbaikan dan revitalisasi Rumah Sagu tertera anggaran tahun 2021 sebesar Rp 5,333,916,096. Sementara pada tahun 2022 Yayasan Somatua kembali mengajukan RAB Revitalisasi sebesar Rp. 10,036,800,000. Dana puluhan milyar tersebut bagi PT Freeport dialokasikan sebagai hibah (pemberian) sebagai komitmen kepedulian perusahaan pada masyarakat.
Rumah Sagu direncanakan menjadi unit usaha nirlaba yang berdayaguna bagi masyarakat Amungme dan Kamoro di wilayah pesisir. Peralatan pengolahan sagu yang sudah terbilang modern didatangkan untuk memproduksi bahan makanan pokok warga sekitar sehingga tidak perlu lagi mengolah secara tradisional.
Kondisi terbaru Rumah Sagu di bulan Oktober 2024 mengungkap fakta yang cukup memprihatinkan. Sepi tanpa aktifitas produksi dan hanya meninggalkan seorang pekerja kebersihan. Rumah Sagu yang memiliki fasilitas pengolahan air bersih sistem RO berbiaya 1,2 milyar lebih berkesan mangkrak dan terbengkalai . Bahkan dermaga khusus yang dibangun dari dana revitalisasi sudah tidak bisa dipergunakan.
Andai dana sebesar itu dioptimalkan menjadi biaya pengembangan UMKM di daerah pesisir tentunya akan sangat luar biasa. Sayangnya masyarakat bawah yg menjadi alasan hadirnya rumah sagu ini malah tidak mendapatkan manfaat apa-apa.
PT Freeport sebagai pihak pemberi hibah dana barangkali hanya menerima laporan penggunaan dana. Namun masyarakat Amungme Kamoro tidak pernah merasakan dampak kebaikan PT Freeport karena Rumah Sagu hanya berupa proyek pengadaan sarana fasilitas. Untuk mendapatkan sagu, warga tetap mengolahnya sendiri atau membeli, sambil memandang mesin pengolah yang diam tidak bergerak dan alat berat terparkir di halaman Rumah Sagu.
Siapa yang bertanggungjawab atas keberadaan Rumah Sagu yang telah menghabiskan dana puluhan milyar secara sia-sia? Benarkah warga hanya dijadikan obyek proyek hibah dari orang dari luar suku Amungme Kamoro? Maximus Tipagau Direktur Yayasan Somatua sebagai pihak pengelola barangkali bisa memberikan jawabannya. (TIM)